Oleh : Syahriah I Jurnalis
Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945 menetapkan berlakunya mata uang bersama di wilayah Republik Indonesia (RI), yaitu uang De Javasche Bank, uang Hindia Belanda dan uang Jepang.
Pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada 3 Oktober 1945 , Maklumat Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.
Bersamaan dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk “Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia” pada 7 November 1945 yang diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan anggota-anggotanya.
Terdiri dari Kementerian Keuangan yaitu H.A. Pandelaki dan R. Aboebakar Winagoen dan E. Kusnadi, Kementerian Penerangan yaitu M. Tabrani, BRI yaitu S. Sugiono, dan wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan yaitu Oesman dan Aoes Soerjatna.
Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam dari Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.
Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis meskipun sejak November 1945 ia tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan. Pada waktu ORI beredar yang menjadi Menteri Keuangan adalah Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III
Kemudian, pada 30 Oktober 1946 diperingati sebagai Oeang Republik Indonesia Daerah atau ORIDA mulai dikeluarkan dan diedarkan sesuai dengan kebijakan daerah masing-masing.
Pada 1 Januari 1950, dalam kondisi perang, jumlah uang beredar di wilayah Republik Indonesia sulit dihitung dengan tepat. Kesulitan melakukan pemisahan data juga terjadi dalam memperkirakan indikator-indikator perekonomian lainnya, seperti neraca perdagangan, posisi cadangan devisa dan keuangan negara.
Dari salah satu hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Kemudian, dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengeluarkan uang kertas yang memberikan hak piutang kepada pembawa uang terhadap RIS sejumlah dana yang tertulis pada uang tersebut dalam rupiah RIS. Hal ini mulai diberlakukan 31 Mei 1950 mengatur berbagai hal tentang pengeluaran uang kertas atas tanggungan Pemerintah RIS.
Sejalan dengan masa Pemerintah RIS yang berlangsung singkat, masa edar uang kertas RIS juga tidak lama, yaitu hingga 17 Agustus 1950 ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk kembali
Kebijakan Gunting Sjafruddin
Pada periode 1951-1952, Pemerintah mengambil kebijakan Gunting Sjafruddin yang bertujuan untuk menyedot uang beredar yang terlalu banyak serta menghasilkan pinjaman sekitar Rp1,5 milyar dari penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 karena Indonesia belum mampu mencari sumber pembiayaan dari pasar.
Dalam jangka waktu yang telah ditentukan, bagian kiri uang dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan De Javasche Bank dengan pecahan f2,50, f1 dan f0,50. Pengguntingan uang tersebut dilakukan karena cara yang lazim, yaitu dengan penyetoran ke dalam rekening yang dibekukan tidak mungkin dijalankan di Indonesia. Pada saat itulah De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI).
Tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.
Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp5 ke atas.
Hak tunggal Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 didasarkan pertimbangan antara uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.
Sesuai amanat Undang – Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia memiliki misi untuk menyediakan uang Rupiah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam jumlah yang cukup, dengan jenis pecahan yang sesuai kebutuhan masyarakat serta dalam kondisi berkualitas dan layak edar.
Uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bank Indonesia pun menjalankan tugasnya agar masyarakat mengetahui bahwa rupiah adalah simbol kedaulatan dan identitas bangsa.
Berbagai kegiatan dilakukan Bank Indonesia, tak hanya di wilayah perkotaan, tapi juga hingga ke wilayah terluar atau perbatasan negara. Melalui program Cinta Bangga Paham rupiah, Bank Indonesia menyentuh masyarakat hingga ke pelosok dalam kegiatan Ekspedisi Rupiah Berdaulat atau ERB dengan menggandeng sejumlah instansi yang telah dilaksanakan beberapa tahun terakhir.
Perum Peruri. (Foto : Syahriah)
Perum Peruri Mencetak Mata Uang Rupiah
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia atau Perum Peruri merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1971, hasil peleburan (merger) antara Perusahaan Negara (PN) Pertjetakan Kebajoran (Perkeba) yang memiliki bidang usaha percetakan uang kertas dengan PN Arta Yasa yang memiliki bidang usaha pembuatan uang logam.
Pada 1991, Peruri memulai membangun pabrik baru di lahan seluas 202 hektar di Ciampel, Karawang, Jawa Barat yang diresmikan oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005. Pada 2011, Peruri ditugaskan oleh pemerintah untuk mengakuisisi PT Kertas Padalarang yang telah berhenti beroperasi sejak akhir tahun 2008, karena kesulitan mendapat modal kerja.
Setiap produk yang dicetak atau dihasilkan oleh Peruri mempunyai ciri khusus yang mengutamakan faktor keamanan untuk menjaga keaslian sebuah dokumen, mengingat dokumen tersebut merupakan dokumen negara yang sangat vital serta keaslian dari pengguna layanan digital Peruri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2019, regulasi terbaru yang mengatur tentang Peruri, disebutkan bahwa kegiatan usaha mencakup :
1. Mencetak Mata Uang Rupiah guna memenuhi kebutuhan sesuai permintaan Bank Indonesia.
2. Membuat dokumen negara yang memiliki fitur sekuriti berupa Dokumen Keimigrasian dan Benda Meterai guna memenuhi kebutuhan sesuai permintaan instansi yang berwenang.
3. Membuat dokumen lain untuk negara yang memiliki fitur sekuriti berupa Pita Cukai dan Dokumen Pertanahan.
4. Membuat dokumen lainnya untuk negara yang memiliki fitur sekuriti dan barang cetakan logam non uang.
5. Mencetak mata uang dan membuat dokumen negara lain yang memiliki fitur sekuriti atas permintaan negara yang bersangkutan, sepanjang telah terpenuhinya pencetakan mata uang Rupiah.
6. Menyediakan jasa yang mempunyai fitur sekuriti yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perusahaan.
7. Fabrikasi kertas uang, kertas sekuriti, dan tinta sekuriti dan Jasa digital sekuriti.
Sumber : wikipedia.org, peruri.co.id, visual kemenkeu























































