JAYAPURA, Redaksipotret.co – Bisnis kopi yang terus menggeliat membuat Bram Martin rela meluangkan waktunya untuk membina para petani kopi di Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan.
Bukan untuk mengejar keuntungan, pembinaan yang dilakukan Bram lantaran dirinya ingin meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Bram bercerita, tahun 2016 awal mula ia mengenal kopi. Namun kala itu dirinya masih berada di Jakarta dan sedang belajar tentang budidaya kopi.
Ia pun teringat pada tahun 2009 hingga 2014 telah mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di kabupaten tersebut.
Berbekal ilmu yang didapat dari Sunda Hijau di Garut Jawa Barat tentang kopi, Bram memutuskan kembali ke Papua dan mulai membina para petani kopi di daerah tersebut.
Awalnya Bram memilih dua distrik yakni Okbab dan Kiwirok, namun melihat luasnya cakupan dua wilayah tersebut, ia pun memutuskan untuk fokus membina petani kopi di Distrik Okbab.
Namun niatnya yang ingin membantu petani kopi di daerah tersebut menemui kendala terlebih merubah pola pikir masyarakat yang telah terbiasa dengan bantuan pemerintah.
Meski begitu, Bram tak lantas putus asa. Ia konsisten ingin membina petani di daerah tersebut dengan melakukan kunjungan tiga bulan sekali, dan didukung dengan kemampuannya menguasai bahasa daerah setempat yakni Ketengban.
“Di Okbab ada delapan kampung. Saya ambil satu kampung untuk fokus membina para petani kopi yang tergabung dalam 16 kelompok. Masing-masing kelompok dapat mengelola 2 hektar lahan tanam kopi,” kata Bram kepada Redaksipotret.co belum lama ini di kediamannya di Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.
“Kala itu produksinya masih sedikit, dari 200 Kilogram, hanya 20 persen yang menghasilkan biji kopi terbaik. Saya sampaikan kepada masyarakat bahwa kalau kita ingin kopi Pegunungan Bintang terkenal seperti kopi Wamena, maka dibutuhkan kerjasama,” ucapnya.
Bram pun memiliki cara unik agar para petani tetap konsisten menanam kopi. Ia memberikan sebuah gelang berwarna merah bertuliskan Star Mount kepada masing-masing petani di daerah tersebut.
“Gelang tersebut memiliki makna pada tulisan Star Mount yang berarti Pegunungan Bintang, kami percaya bahwa kopi dari daerah tersebut bisa go international, dan berwarna merah untuk mengingatkan para petani setiap memanen atau memetik biji kopi harus yang berwarna merah,” jelas Bram.
Kurang lebih dua tahun melakukan pembinaan, namun pada pertengahan tahun 2020, secara perlahan Bram melepas para petani untuk melakukan budidaya secara mandiri berbekal ilmu yang sudah ia berikan.
“Secara perlahan saya lepas mereka, karena tahun 2020 terjadi pandemi Covid19 yang masih berlangsung sampai 2021. Tetapi saya sudah mengajarkan mereka cara menanam ulang, petik, rendam dan membersihkan biji kopi hingga pengupasan dan cara menjemur.,” ujarnya.
Bram mengungkapkan, jumlah petani kopi di Distrik Okbab semakin bertambah, bahkan kampung lainnya di distrik tersebut mulai melakukan hal serupa.
Selain melakukan pembinaan, Bram turut membantu memasarkan hasil panen petani kopi dengan menjualnya ke kedai kopi dalam bentuk roast been, dan bubuk dengan berbagai ukuran kemasan untuk dipasarkan melalui ritel.
Bram telah memiliki pelanggan tetap. Namun kuntitas kopi Pegunungan Bintang belum mampu memenuhi permintaan pasar, sehingga ia pun berinisiatif mengambil dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
“Permintaan pasar cukup tinggi, jadi 50 persen saya datangkan dari Wamena, 50 persen sisanya dari Pegunungan Bintang. Kedua daerah ini penghasil kopi jenis arabika. Sementara jenis robusta, saya datangkan dari luar Papua lantaran produksinya hanya satu ton per tahun, itupun hanya ada di Kepulauan Yapen,” kata Bram.
Bram menyebut, saat ini kelompok tani yang konsisten menanam kopi di Distrik Okbab ada 20, satu kelompok bisa menggarap 5 sampai 7 hektar lahan.
Penulis : Syahriah Amir Editor : Syahriah Amir