JAYAPURA, Redaksipotret.co – Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini tengah menjalankan amanat negara dalam mengembangkan bursa karbon. Sebagai bagian dari upaya mendukung transisi energi dan penurunan emisi, BEI kini berada pada tahapan awal yaitu sosialisasi dan pemanfaatan regulasi yang sudah tersedia.
Kepala BEI Perwakilan Papua, Kresna Aditya Payokwa mengatakan, implementasi bursa karbon masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal pemenuhan persyaratan oleh para pihak yang ingin menjadi peserta atau menerbitkan kredit karbon. Salah satu contohnya adalah pemerintah daerah (pemda) yang memiliki kawasan hutan dan berminat untuk turut serta dalam perdagangan karbon.
“Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Misalnya, perlu adanya survei kelayakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), penghitungan potensi karbon dari kawasan tersebut, serta konversi luasan hutan lindung ke dalam satuan karbon,” kata Kresna, di Jayapura, Rabu (2/7/2025).
Kresna bilang, karbon yang telah dikonversi nantinya akan diperdagangkan melalui BEI dan dibeli oleh pihak-pihak yang diwajibkan untuk melakukan pembelian kredit karbon sesuai regulasi.
Namun demikian, hingga saat ini masih banyak pemangku kepentingan, termasuk pemda, yang belum sepenuhnya memahami persyaratan dan mekanisme yang berlaku.
BEI pun terus berkolaborasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat sosialisasi perdagangan karbon ini.
“Kami masih fokus pada tahap sosialisasi dan menyempurnakan regulasi yang ada. Memang, ada beberapa hal yang dirasakan cukup memberatkan karena alur prosesnya cukup panjang. Tapi ke depan kami berharap semakin banyak daerah, khususnya yang memiliki hutan luas, bisa berpartisipasi aktif dalam bursa karbon,” ujarnya.
Sebelumnya, Pengawas Senior Deputi Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif OJK Murtaza mengatakan, perdagangan karbon melalui bursa karbon merupakan upaya besar Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Murtaza menjelaskan bahwa perdagangan karbon bisa menjadi investasi cukup besar bagi Papua. “Ini melibatkan investasi yang tinggi karena dibutuhkan peralatan yang bagus agar polusi yang bagus bisa ditanam dalam tanah. Investasinya bisa mencapai triliunan rupiah,” jelas Murtaza belum lama ini.
Dia pun mengungkapkan bahwa hutan di Papua cukup luas, Pemerintah daerah bisa membuat perencanaan.
“Apabila Pemerintah provinsi mau ikut melalui area hutan yang dimiliki, hanya membutuhkan waktu satu sampai dua tahun hingga unit karbon yang dihasilkan bisa dijual. Jadi ada proses yang harus dilakukan, tentunya melibatkan konsultan yang independen,” kata Murtaza.
Murtaza mengatakan, sejak diluncurkan pada September lalu, transaksi bursa karbon telah mencapai 400 ribu ton CO2 (karbon dioksida) dengan nilai transaksi sebesar Rp30 miliar lebih.
Peluncuran Bursa Karbon Indonesia yang diselenggarakan oleh BEI berdasarkan penetapan oleh Otoritas Jasa Keuangan telah dilakukan pada 26 September 2023. Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh OJK melalui Surat Keputusan nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023 lalu.
Pemerintah mengungkapkan, kurang lebih 1 gigaton CO2 potensi kredit karbon yang bisa ditangkap dan jika dikalkulasi bisa mencapai Rp3.000 triliun.
Editor : Syahriah Amir